JAKARTA, Gapi72 – Kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan gratifikasi kredit macet Bank BPRS Saruma, Kabupaten Halmahera Selatan, senilai Rp 15 miliar, menjadi sorotan tajam. Koalisi Anti Korupsi Maluku Utara Jakarta (SKAK-MALUT-JKT) menilai Kejaksaan Negeri Halmahera Selatan “tumpul” dalam menangani kasus ini.
Koordinator SKAK-MALUT-JKT, M. Reza A. S., mendesak Kejari Halsel untuk membuka “kotak pandora” skandal BPRS Saruma tanpa kompromi politik. “Keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu, jangan hanya tumpul ke atas lalu tajam ke bawah,” tegas Reza.
SKAK Malut berencana menggelar demonstrasi di Kejagung RI untuk mendesak supervisi dan evaluasi kinerja Kejari Halsel. “Jika tidak mampu menuntaskan perkara BPRS, Kejari Halsel harus dicopot!” seru Reza.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Reza juga menyinggung ironi di Maluku Utara, di mana banyak kasus besar yang melibatkan pejabat daerah berakhir dengan SP3. “Pola yang sama berpotensi terjadi pada skandal BPRS Saruma, dan itu akan merusak citra kejaksaan,” ujarnya.
Kasus BPRS Saruma mencuat sejak 2020, diungkap oleh Almarhum Bupati Usman Sidik. Kejari Halsel meningkatkan status perkara pada September 2023 setelah menemukan bukti yang cukup. Beberapa nama besar terseret, termasuk Saiful Turuy, Aswin Adam, Ichwan Rahmat, dan Leny Lutfi.
Sebagian kerugian negara (Rp10 miliar) dikabarkan telah dikembalikan oleh kontraktor FA tanpa mekanisme resmi. Sisa kerugian Rp5 miliar belum dikembalikan, menimbulkan pertanyaan tentang kepastian hukum.
“Pengembalian kerugian negara tidak menghapus tindak pidana korupsi maupun TPPU,” tegas Reza. “Kejaksaan harus segera menetapkan tersangka demi menjamin kepastian hukum.”
Reza memperingatkan bahwa jika kasus ini dihentikan tanpa alasan kuat, kredibilitas kejaksaan akan runtuh. “Praktik impunitas akan menjadi preseden buruk, di mana elite lokal merasa kebal hukum,” katanya.
Kajari Halsel, Ahmad Patoni SH, MH, mengklaim bahwa kasus BPRS Saruma masih berjalan dan menunggu petunjuk dari Kejati Maluku Utara.







