TERNATE, Gapi72 – Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, kembali menegaskan urgensi pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang efisien, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Dalam sebuah Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) mengenai Perencanaan dan Penganggaran APBD Perubahan 2025 serta APBD 2026, Bima menyoroti paradoks pembangunan di Indonesia: kekayaan sumber daya melimpah, namun pekerjaan rumah untuk pemerataan masih panjang. APBD, menurutnya, harus menjadi instrumen pembangunan nyata, bukan sekadar angka yang rawan kebocoran. Desentralisasi yang sehat, dengan dukungan SDM mumpuni, birokrasi bersih, dan sinergi lintas pihak, menjadi kunci.
Perhatian khusus lantas tertuju pada Maluku Utara. Provinsi ini, yang kini mencatatkan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia, justru dihadapkan pada tantangan pelik berupa kesenjangan sosial, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang belum optimal, kemiskinan, dan angka pengangguran. “Maluku Utara ibarat di simpang jalan antara kemakmuran dan ketimpangan,” ujar Bima. Ia menekankan bahwa hilirisasi nikel harus memberikan dampak luas, dan diversifikasi ekonomi menjadi keniscayaan.
Gubernur Sherly Tjoanda Laos, dalam kesempatan yang sama, secara lugas mengakui bahwa pemerataan di Maluku Utara belum terwujud. Data memang menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang fantastis, mencapai 32 persen, dengan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) hingga kuartal II 2025 menyentuh angka Rp60 triliun. Namun, di balik gemerlap angka tersebut, kesejahteraan belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat di lapisan bawah.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Pertumbuhan itu tidak merata, ia hanya muncul di atas,” jelas Sherly. Ia menunjuk pada ironi: Maluku Utara belum mampu berswasembada pangan. Perusahaan-perusahaan besar di kawasan industri, yang kebutuhan pangannya bisa mencapai Rp100 miliar per bulan, justru masih mengandalkan pasokan dari luar daerah seperti Manado dan Surabaya. Akibatnya, petani dan nelayan lokal tak banyak menikmati putaran uang tersebut. Ini menjadi pekerjaan rumah besar untuk mendorong swasembada telur, padi, beras, dan daging, agar ekonomi lokal benar-benar berdenyut.
Persoalan ketenagakerjaan juga tak kalah pelik. Kawasan industri di Maluku Utara kini mempekerjakan sekitar 60 ribu orang. Hal ini menyebabkan lonjakan populasi di Kabupaten Halmahera Tengah, dari 38 ribu menjadi 100 ribu jiwa. Namun, mayoritas pekerja tersebut adalah pendatang dari luar Maluku Utara yang kemudian berbondong-bondong mengurus KTP di daerah ini. “Ini membuat pembangunan tidak inklusif dan tidak merata bagi masyarakat Maluku Utara. Dan tentu, sebagian juga menjadi tanggung jawab kita,” imbuh Sherly.
Menyikapi kondisi ini, Pemerintah Provinsi Maluku Utara menegaskan komitmennya. Setelah sukses dengan program pendidikan dan kesehatan gratis, fokus kini beralih pada peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) lokal melalui kerja sama dengan berbagai pihak. Harapannya, di masa depan, industri-industri raksasa di Maluku Utara akan lebih banyak menyerap putra-putri daerah, sehingga kesejahteraan benar-benar merata dan dirasakan oleh keluarga-keluarga Maluku Utara.
Oleh karena itu, dalam perencanaan dan penganggaran APBD, Pemprov Maluku Utara kini mengarahkan belanja modal pada sektor-sektor yang secara langsung membangkitkan produktivitas masyarakat. Gubernur menginstruksikan kepada seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk memastikan setiap rupiah dari APBD benar-benar berpihak pada rakyat, menjadi investasi nyata bagi masa depan Maluku Utara yang lebih inklusif dan berkeadilan.







