MOROTAI, Gapi72– Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Pulau Morotai, Erwin Sutanto, kembali melayangkan kritik tajam terhadap kebijakan anggaran daerah. Ia menyoroti minimnya keberpihakan APBD Perubahan (APBD-P) terhadap tiga sektor vital yang berpotensi mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD): pertanian, kehutanan, dan perdagangan. Ironisnya, ketiga sektor ini justru “dianaktirikan” dan tidak mendapatkan alokasi anggaran dalam pengesahan APBD-P.
Erwin juga mengingatkan janji politik pasangan Bupati dan Wakil Bupati Morotai, yakni program “Serba Dua Juta” yang telah diluncurkan pada 17 Agustus lalu. Namun, hingga kini program tersebut tak kunjung terealisasi. “Bagaimana mau realisasi? Uangnya tidak ada! Morotai sedang ‘minum’ defisit besar,” tegasnya, menggambarkan kondisi keuangan daerah yang karut-marut
Dampak dari defisit dan salah prioritas ini, lanjut Erwin, terlihat jelas pada pelayanan dasar masyarakat. “Pelayanan dasar kita tidak jalan. Coba cek di puskesmas dan rumah sakit, obat-obatan kosong,” ungkapnya prihatin. Ia membandingkan dengan proyek pembangunan talud yang didanai dari sisa anggaran bencana alam tahun 2024 sebesar Rp 30 miliar lebih, serta enam titik proyek rekonstruksi yang sedang berjalan. “Sementara yang lain tidak ada,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Visi misi utama pemerintah daerah untuk pengentasan kemiskinan dan bantuan sosial melalui program “Serba Dua Juta” juga disebutnya mandek. Meskipun ada alasan bahwa anggaran 2025 disusun oleh pemerintahan sebelumnya, Erwin menyanggah. “RPJMD disahkan mulai 2025 hingga 2029. Anggaplah 2025 tidak bisa, tapi kan mulainya di 2026. Semuanya masih menunggu, katanya bersabar karena porsi anggaran APBD disusun pemerintah sebelumnya, jadi mereka beralasan belum maksimal,” ujarnya, menyiratkan ketidakpuasan terhadap dalih tersebut.
Keterlambatan ini diperparah dengan belum dibahasnya KUA-PPAS. “Kemarin kita baru paripurna pengesahan APBD-P 2025. Padahal, beberapa daerah lain seperti Halut sudah menyerahkan KUA-PPAS,” jelasnya. Ia menegaskan, “Alasan keterlambatan ini karena Tim TAPD yang terlambat, bukan DPRD. Kan DPRD tinggal menunggu saja, kalau dokumennya sudah diserahkan kita pasti bahas.”
Dalam 200 hari kerja sejak dilantik, Erwin menyatakan belum ada program yang berjalan signifikan. “Tidak ada program yang jalan,” tegasnya. Ia menyoroti bahwa sektor pertanian, kehutanan, perikanan, dan UMKM (perdagangan dan perbengkelan) yang seharusnya menjadi tulang punggung perputaran ekonomi hingga 70 persen di Morotai, justru diabaikan. Dalam pengesahan APBD-P, keberpihakan anggaran pada tiga sektor tersebut hampir nihil. Sebaliknya, anggaran justru didominasi oleh pembangunan fisik di Dinas PUPR, Dinas Kesehatan, dan Pendidikan.
Pasca-pergantian rezim, kebijakan pendidikan juga menjadi sorotan. Sejumlah sekolah yang sebelumnya dinonaktifkan pada masa pemerintahan Almarhum Beni Laos—dengan pertimbangan keterbatasan guru dan fokus pada sekolah unggulan untuk kualitas pendidikan—kini diaktifkan kembali. Erwin menjelaskan, “Pak Beni membuat kebijakan antar-jemput siswa gratis, tapi karena Pak Beni sudah tidak berkuasa lagi, pengaturan anggaran APBD tidak terfokus lagi pada sekolah unggulan, malah ditutup dan diaktifkan kembali sekolah yang sudah tidak aktif itu.”
Pemerintahan baru menganggap sekolah unggulan tidak maksimal karena tidak ada lagi kebijakan antar-jemput siswa gratis. Akibatnya, sekolah-sekolah yang tadinya tidak aktif dan bangunannya rusak kini diaktifkan kembali, menguras anggaran APBD untuk renovasi dan pembangunan baru. “Karena itu sekarang ini banyak proyek-proyek yang masuk di desa-desa untuk pembangunan gedung sekolah,” ujarnya. Anggaran 2025 banyak difokuskan ke sana, termasuk pembangunan puskesmas di desa-desa, yang sebagian besar dananya bersumber dari DAK dan DAU. “Sebelumnya sekolah SD dan SMP itu ada yang namanya sekolah unggulan, namun di rezim sekarang ini sekolah unggulan ditiadakan. Jadi sekolah yang sudah tidak aktif di pemerintahan sebelumnya diaktifkan lagi sehingga banyak anggaran yang difokuskan ke sana, karena banyak sekolah yang direhab kembali dengan pengadaan mebelnya,” pungkas Erwin, menggarisbawahi pergeseran prioritas yang dinilai tidak tepat.







